Catur Wangsa vs Catur Warna
Dalam ajaran agama Hindu (agama mayoritas di Bali), setahu
saya ajaran tentang kasta (Catur Wangsa) tidaklah ada, yang ada adalah Catur Warna. Dan menurut apa yang pernah saya
baca, baik di internet, koran atau pun lainnya, konon sistem kasta baru ada
semenjak abad ke 14.
Sistem Catur Warna “diubah” oleh Belanda yang dulu menjajah
Indonesia, tujuannya yaitu untuk memecah belah kekuatan di masyarakat, yaitu
dengan semakin memperlebar jarak antara Raja dan rakyatnya, memecah masyarakat
ke dalam kelompok-kelompok kasta, salah satu trik adu domba.
Itu sedikit sejarah yang saya tahu. Lalu bagaimana dengan
keadaan saat ini? Saat ini masalah kasta tentu saja masih menjadi pro dan
kontra. Ada yang masih begitu fanatik dengan kasta namun ada juga yang bersikap
biasa saja dan tidak terlalu peduli masalah kasta.
Saat ini bisa dikatakan kasta di Bali yang saya tahu terdiri
dari 3 bagian yaitu :
- Golongan
1 : Ida Bagus dan lainnya
- Golongan
2 : Cokorda, Anak Agung, Gusti dan lainnya
- Golongan
3 : Tidak berkasta
Kasta Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya mereka yang
berkasta menggunakan bahasa Bali halus untuk berkomunikasi dengan kasta yang
selevel dan level di atasnya. Sementara ketika berbicara dengan berkasta lebih
rendah, yang memiliki kasta lebih tinggi kadang dianggap bisa menggunakan
bahasa yang biasa atau lebih ‘kasar’.
Dalam kegiatan sosial masyarakat, mereka yang berkasta lebih
tinggi juga biasanya lebih dihormati, salah satunya ditunjukkan dengan bahasa
seperti yang saya katakan diatas. Apalagi mereka yang berkasta itu kebetulan
secara ekonomi lebih mampu alias kaya.
Tentu tidak semua orang seperti itu, banyak juga mereka yang
tidak berkasta namun tetap dihormati. Dan kembali juga kepada masing-masing
orang karena pada kenyataannya tidak ada aturan yang mengharuskan seseorang
hormat kepada mereka yang berkasta.
Pernikahan
Dalam urusan pernikahan, kasta sangat sering menimbulkan pro
dan kontra bahkan kadang menjadi masalah atau batu sandungan. Sama seperti
pernikahan beda agama, di Bali pernikahan beda kasta juga biasanya dihindari.
Walaupun jaman sudah semakin terbuka, tapi pernikahan beda kasta yang
bermasalah kadang masih terjadi.
Di Bali umumnya pernikahan bersifat patrilineal. Jadi seorang perempuan setelah
menikah dan menjadi istri akan bergabung dengan keluarga suaminya. Nah, dalam
pernikahan beda kasta, seorang perempuan dari kasta yang lebih rendah sudah
biasa jika dijadikan istri oleh lelaki dari kasta yang lebih tinggi. Bahkan
pihak keluarga perempuan kadang ada rasa bangga.
Lalu bagaimana jika seorang perempuan berkasta menikah
dengan lelaki tidak berkasta atau dengan lelaki yang kastanya lebih rendah? Ini
istilahnya “nyerod” atau turun kasta. Pernikahan seperti sangat dihindari dan
kalaupun terjadi biasanya dengan sistem “ngemaling” yaitu menikah dengan
sembunyi-sembunyi. Karena pernikahan “nyerod” seperti ini biasanya tidak akan
diijinkan oleh keluarga besar pihak perempuan.
Jadi kalau mau mengikuti “tradisi” diatas, semakin tinggi
kasta perempuan maka semakin sempit pula peluang mereka untuk memilih jodoh
(*ini kesimpulan pribadi saya saja, hehe). Kasus “nyerod” sangat jarang, jadi
jarang ada lelaki biasa (tidak berkasta) memiliki istri yang berkasta.
Tapi anehnya, dibandingkan dengan kasus “nyerod”, masyarakat
sepertinya lebih terbiasa dan bisa menerima melihat perempuan yang menikah
dengan lelaki yang bukan orang Bali/Hindu. Entahlah.
Oya, sistem patrilineal ini juga menyebabkan orang Bali
secara tidak langsung lebih menginginkan anak laki-laki daripada anak
perempuan. Ya walaupun tidak semua orang tua seperti itu.
Bagaimana jika tidak memiliki anak laki-laki? Ada juga
sistem pernikahan matrilineal. Yaitu pihak
lelaki yang akan bergabung dengan keluarga perempuan. Istilahnya “nyentana”
atau “nyeburin”, saat ini juga cukup lumrah terjadi.
Kalau pernikahan “nyeburin” atau “nyentana” ini terjadi
dalam satu tingkatan kasta yang sama, biasanya tidak akan ada masalah. Tapi
bagaimana kalau beda kasta? Pernikahan “nyentana” dengan kasta berbeda sangat
jarang terjadi, karena baik “naik kasta” atau pun “turun kasta” akan terlihat
aneh di masyarakat.
Misalnya saja si Wayan yang “nyentana” yaitu menikah pihak
perempuan yang berkasta, ini sangat sulit. Pertama, pihak keluara perempuan
biasanya tidak akan menerima. Masyarakat di sekitar juga nanti bingung, apakah
si Wayan akan naik kasta menjadi berkasta seperti istrinya atau tetap tidak
berkasta. Lalu ketika mereka punya anak, apa kastanya? Ah, ribet.
Itu yang “naik kasta”, lalu bagaimana dengan turun kasta?
Misalnya seorang lelaki berkasta menikah “nyentana” ke perempuan yang tidak
berkasta. Berarti lelaki tersebut akan kehilangan kastanya. Hal ini biasanya
tidak akan diijinkan oleh keluarga pihak lelaki. Jadi, berkaitan dengan kasta,
pernikahan model “nyentana” akan ribet kalau terjadi dengan berbeda kasta.
(sumber :http://stitidharma.org)
dalam hal perkawinan kasta di bali itu sebenarnya agak mirip dan nggak jauh jauh beda dengan golonangan keluarga beserta bangsawan keraton dan golongan rakyat jelata di jawa di tempoe doeloe
ReplyDeleteApakah jika yg cwo memiliki kasta Ida Bagus bisa nyentana?? Karna ini jarang didengar??
ReplyDelete